Tentara Gila

 


A. Suwistyo

 

Waktu muda Wira dihabiskannya di asrama tentara. Bapaknya tentara berpangkat di sana. Tentu saban hari dilihatnya para tentara berseragam berlari sana kemari, sorak-sorak yel-yel mereka setiap pagi dan petang – katanya penambah semangat, sampai nada-nada tinggi nan tegas sebagai logat penanda para tentara, tak peduli mana asalnya.

            Walaupun Wira masih duduk di bangku sekolah menengah atas, bapaknya sangat bersikeras bahwa anak perempuan tunggalnya harus bisa jadi seorang perwira kelaknya. Yang ada di kepalanya hanya melihat Wira menjadi perwira berbalok satu di bahu. Tak peduli apa pun caranya. Ia akan menyogok para teman perwiranya jika harus. Gadis itu disuapi berbagai macam cerita, mulai dari bapaknya saat jadi bintara hingga latihan fisik setiap hari serta tak lupa soal - soal akademik. Maka sudah jadi makanan sehari-harinyalah seolah-olah hidup dalam barak taruna.

            Ambisi bapak tentara itu hilang di suatu hari. Kala itu Wira sedang tidak ada jadwal latihan. Izinlah ia kepada bapak bersungut dan badan gempal itu untuk pergi sekadar mandi-mandi ke Batang Kuranji. Bapaknya merestui setelah memberikan beberapa pertanyaan yang membuat berkeringat menjawabnya. Namun dalam hatinya masih waspada jika suatu marabahaya mendatangi putrinya. Sebab hari itu libur, dia hanya berleha-leha di depan rumah. Sesekali menjawab hormat dari yang lebih rendah pangkatnya.

            Sudah tiba petang belum juga Wira terlihat batang hidungnya. Matahari sudah dimakan laut di barat, burung-burung sudah terbang berjamaah menuju sarangnya, bunyi-bunyian kaset mengaji di musala mulai diputar garin.

            “ Mungkin anak-anak muda itu terlupa dengan malam, pak. Sedang asik bercerita sambil berendam-rendam.” Si garin menenangkan.

            Si bapak tentara hanya mendengus. Nampaknya Wira akan mendapat ciuman sabuk pinggang. Semakin malam anaknya belum juga datang. Perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Ditanyanyalah kian kemari. Jawaban yang didapatnya hanya sebatas berprasangka akan takdir baik. “Ah, tak mungkin dia mendapat sial!” sangkalnya.

            Benar kiranya. Wira pulang dipapah teman-temannya. Baju yang dikenakannya masih lembab. Kakinya dibalut kain kasa. Tak banyak tanya si bapak tentara membukakan pintu, selepas itu teman-teman Wira pamit pulang – takut dikira penyebab sial Wira. Beribu tanya masih berputar di kepala si bapak. Wira yang tanpa ditanya menjelaskan bahwa kakinya melepuh terkena knalpot motor. Anak-anak itu lekas membawanya ke puskesmas tak jauh dari tempat mandi mereka. Dijelaskannya lah dengan penuh hati-hati agar si bapak tidak terpercik amarahnya.

            Si bapak tentara tidak banyak menjawab, namun garis matanya masih keras. Menandakan ia tidak kasihan dengan kejadian yang dialami anaknya. Ada sebuah pertanyaan lain yang sedari tadi dipikirnya. Diingat-ingatnya lah kembali. Ternyata benar. Seorang calon tentara harus bersih sehat jiwa dan raga. Kaki yang melepuh karena knalpot menjadi salah satu sebab kegagalan untuk menjadi seorang tentara. Mata kerasnya perlahan mengendur untuk tak menyalahkan takdir. Namun, jauh setelah kejadian itu, saat Wira sudah hampir menamatkan sekolahnya, mata keras itu semakin keras kiranya. Apalagi panas telinganya setiap ada kabar penerimaan calon tentara sudah dibuka. Dikutuknya takdir sejadi-jadinya.

Kini Wira sudah tak lagi gadis perawan setelah enam tahun sejak kejadian itu. Ia sudah dipinang anak seorang mayor. lelaki yang meminangnya itu juga tidak jadi seorang tentara, walaupun anak petinggi. Ia dan suaminya kini hanya berharap pada usaha rumah makan mereka di ruko sewa milik tentara. Tak jauh dari rumah kecil Wira. Tapi sudahlah, sekarang mereka berdua sudah memiliki dua anak. Laki-laki kedua anaknya.

            Suami isteri ini masih tetap berhaluan bahwa kelak keturunan mereka lah yang akan menjadi tentara, walaupun nyatanya mereka berdua tidak jadi. Mereka setuju bahwa anaknya kelak dinamai dengan nama-nama jendral terdahulu. Mungkin hanya inilah warisan orang tua mereka dahulu, sifat keras kepala jika tentara adalah pekerjaan yang paling sejahtera. Mula-mula si anak pertama dinamainya Wiranto. Lalu tak lama setelah itu ditukarnya nama Wiranto menjadi Karsidi, sebab nama lamanya tak lagi hangat dibincang-bincangkan orang pada zaman itu. Hanya bertahan satu minggu, Karsidi yang terinspirasi dari nama seorang kolonel daerah bukit barisan kala itu diganti pula. Ada tersiar pula kabar si garin lama – Karsidi yang kabur membawa kotak amal musala. Mereka merasa nama anak mereka ikut tercoreng juga. Hingga setelah berembung banyak dengan sanak famili, akhirnya si anak pertama dinamai Santoso. Berkiblat pada nama jendral panglima TNI yang baru naik kala itu.

            Kedua pasangan suami isteri ini sangat mencintai kedua anaknya. Terlebih-lebih pada si sulung yang sebentar lagi akan lulus sekolah menengah atas. Apa saja yang direngek anaknya dibelikannya. Satu yang diminta, sepuluh yang diberi. Jika Wira tak mau menuruti kemauan anaknya, si suami akan menjadi benteng pembela pertama anak-anaknya, lalu membelikan apa mau mereka. Terkadang si bapak itu membelikan melebihi kewajaran. Tak heran jika si bungsu berbadan bulat walaupun masih kelas 6 sekolah dasar. Lehernya pun tak lagi kelihatan.

            Santoso si anak kesayangan sekarang tumbuh dengan hasil manja dan kebebasan. Belagak berpunya jika sudah berkumpul dengan teman-temannya, berganti-ganti perempuan yang sekadar menjadi teman jalan-jalannya, dan tak lupa kebanggan membawa sepeda motor ternama saat ke sekolah. Bapaknya membelikan motor ini sebab Santoso berhasil lulus di sekolah atas ternama di provinsi. Semakin banggalah kedua suami istri itu jika ditanya dimana sekolah anaknya. Bertambah lebarlah lubang hidungnya saat menceritakan anaknya.

Santoso yang buah dari kemanjaan terkadang lupa akan darimana ia lahir, sekeras apa orang tuanya menjual nasi. Pertemanannya pun memberikan wadah untuk ia semakin bangga akan dirinya. Motor gagah pemberian bapaknya itu dibawanya kencang-kencang di suatu siang. Temannya sekadar mengajak membeli rokok di supermarket. Dikebutnyalah motor itu dengan angkuh, hingga pada akhirnya sebuah mobil ditabraknya dari arah yang berlawanan. Santoso tak sadarkan diri. Temannya masih sadar, namun darah telah keluar dari lengan dan kakinya. Sejurus kemudian orang – orang sekitar kejadian menepikan motor yang telah tak berbentuk dan memaksa si pengendara mobil membawa Santoso ke rumah sakit daerah. Namun si teman memilih pulang, mengabari orang tua Santoso.

Tak perlu ditebak, dua suami isteri itu tak main kagetnya saat si teman anaknya mengabari Santoso sudah dibawa ke rumah sakit. Tanpa pikir Wira mengambil kunci motor. Menyusul anaknya. Suaminya tidak ikut karna sudah tak sadarkan diri duluan. Kabarnya ia memiliki riwayat penyakit darah rendah yang membuat ia sering lemah hingga tak sadarkan diri jika penyakit itu menjadi-jadi.

Tak lama setiba Wira, Santoso sudah terlentang dengan tangan kiri yang diganjal dua bilah papan, lalu dibalut perban. Santoso telah mematahkan tulang lengannya. Bisa jadi ia menumpukan beban ke tangannya saat terjatuh dari motor. Aku yang juga kemenakan dari Wira, kakak sepupu dari Santoso, ditelepon untuk menyusul mereka. Begitulah akibatnya jika hanya aku yang muda yang bisa kesana kemari. Dan juga aku juga pernah patah tulang layaknya Santoso. Lama kami berdiskusi, akhirnya Santoso kami bawa ke ahli tulang tradisional malam itu juga. Katanya, jika di rumah sakit, setiap yang patah tulang pasti akan dioperasi, lalu dipasangi semacam baut di antara dua tulang yang patah, lalu baut itu akan diganti setiap setahun sekali. Itu pun tidak akan lurus sempura seperti semula. Biayanya bukan main.

Saban tiga kali seminggu aku menjemput dan mengantar Santoso ke ahli tulang untuk memulihkan tulang lengannya agar lurus. Orang sana memanggilnya pak bayu. Namanya juga masyhur seantero kota. Jika ingin berobat kepadanya, pasien harus mengantri sejak lepas ashar. Jangan harap masih bisa cepat ditangani jika datang lepas magrib. Dulu panti pijat itu dikelola oleh bapaknya yang tak kalah masyhur kesaktiannya. Setelah meninggalnya beliau, pak Bayu lah yang diturunkan ilmu mengobati segala jenis penyakit tulang itu. Ia akan mulai mengobati para pasien setelah azan magrib, sebab ia juga seorang pegawai swasta. Panti itu dibuka di garasi rumahnya.

Kami sudah rutin setiap minggu berobat dengan pak Bayu. Kali ini lengan Santoso sudah mulai membaik. Sedikit mencapai kata lurus sempurna. Santoso sudah tiba di jadwal terakhir berobatnya. Hari ini dia akan buka perban, kata pak Bayu. Alangkah senangnya Wira mendengar kabar itu selepas kami pulang minggu lalu. Kami tak pergi berdua seperti biasa. Wira ibunya Santoso juga ingin ikut. Diliburkannya lah kedai hari itu. Demi melihat anaknya sembuh layaknya semula.

Aku menunggu di luar, mereka berdua masuk ke dalam tempat pengobatan. Sesekali aku memperhatikan apa saja keluhan pasien yang mengantri dari kaki atau tangannya yang diperban. Terkadang ada juga pasien yang tak nampak tanda-tanda sakitnya, namun tetap ingin berobat. Terkilir mungkin.

Lama aku menunggu, Wira dan Santoso tak kunjung keluar. Pekikan Santoso yang dipegang tangannya oleh pak Bayu juga tak terdengar seperti biasanya. Tidak seperti biasanya. Penasaranku membawaku mengintip mereka dari luar. Tak juga nampak tanda – tanda akan selesai.

Lama setelahnya mereka keluar dari ruang pengobatan. Kali ini tak ada senyum cengegesan Santoso karena pak Bayu yang pasti menjahilinya setelah pegobatan, misalnya menjentik tangan Santoso, lalu Santoso aduh kesakitan. Mereka berdua muram pucat pasi. Lebih – lebih wajah Wira.

Ternyata tukang urut tua itu telah berkata ajimat yang membuka kembali ketakutan lama. Jika aku di sana saat itu, akan kuhancurkan mulutnya. Bagaimana tidak, seorang yang berobat mengaharapkan sembuh malah menerima sakit yang membukakan pintu kekecewaan yang dalam. Baik bagi Santoso, atau pun Wira.

Pak Bayu telah mengambil kesimpulan bahwa tangan Santoso tak bisa lurus kembali. Mau diluruskan sudah terlanjur menyatu bengkok. Aku tidak mempermasalahkan ini sebenarnya. Yang aku lebih marah adalah kata setelah itu. Kata-kata itu membuka kekecewaan lama.

“ Ndak bisa lurus lagi. Apalagi jika ia mau mendaftar tentara, polisi, dan sebagainya. Santoso tidak bisa jika jadi tentara.”

Itulah yang melemahkan Wira kembali. Pandangannya kosong. Ambisinya yang selama ini didendamkannya kepada anaknya semena-mena dihancurkan. Wira tak tahu apa yang harus dikatakannya nanti kepada suaminya setiba di rumah. Ini akan menjadi kekecewaan sekeluarga besar. Ambisi warisan bapak mereka akan sirna sudah.

“Astaga, pak Bayu punya gara-gara.” Geramku.

***

Siang lama setelah tragedi peruntuhan mimpi itu aku berkunjung ke rumah Wira. Hendak menumpang makan. Biasanya Wira masak enak untuk anaknya. Jadi sudah betul lah kebiasaanku makan di sana jika tak ada lauk di rumah.

Tak kudapati Wira setiba di sana. Hanya ada Santoso dan adiknya sedang menonton televisi. Saat aku tanya, mereka berdua diam terpaku tidak menjawab. Apa salahku? Aku mencari ke dapur, siapa tahu Wira menyiapkan bahan untuk dijual nanti. Tetap tak kudapati.

Baru kutemukan jawaban saat melirik jendela yang langsung kearah jalan besar. Wira ada di sana. Kali ini berbeda. Wanita yang menuju senja itu berdiri sembari hormat ke arah jalan. Lebih kagetnya karena ia memakai baju loreng tentara. Perasaanku tak karuan.

“ Orang gila. Wira gila. Jadi tentara gila.”

---

Sawahan, Padang, 09022021

          

Tentang Penulis

A. Suwistyo. Aktif menulis puisi, cerpen dan berseni.  Berkegiatan di Padang. Saat ini telah menulis 2 buku, diantaranya : Lakon (2018) dan Sedasawarsa Lagi, Kita Menua (2019). Karya-karyanya juga dapat ditemukan di berbagai antologi dan media massa : Haluan, Harian Rakyat Sumbar, Scientia.id, Media Cakra Bangsa, Radar Malang, dan lain-lain.

                                                                                                          

Komentar