Sembahyang di Tepi Jalan
A.Suwistyo
Kabar
selanjutnya, dia mengaku telah menjadi pendakwah yang handal sekarang.
Orang-orang dengan mudah percaya dengan kata-katanya. Apa yang dikatakannya
pasti terjadi di hari yang diperkirakannya, entah itu benar atau kebetulan ilmu
cocokologi semata. Di paragraf
terakhir dia juga bercerita bahwa tiga perempat desa telah menjadi umatnya.
Ruang tamu, lalu teras, hingga menjalar ke tanah kosong depan rumahnya ramai
setiap sabtu malam. Mulanya saya kira Gut sudah membuka usaha sewa odong-odong
malam. Tapi, yang saya baca warga
memasang telinga tinggi-tinggi jika Gut mulai membaca salam. Tapi, yang saya baca
warga menangis, mengangguk pelan, menangis, lalu mengangguk lagi hingga Gut
juga ikut menangis.
“Sejuk
hati mengikuti kaji Si Gut.” Testimoni seseorang di lepau simpang Sumani saat
terakhir saya ke sana, tiga tahun lalu. saya tanyakan mengapa mereka beramai-ramai
turun dari arah atas malam pukul dua.
Sudah
habis halaman surat itu. Saya tidak begitu yakin dengan bunyi surat sahabat
saya. Sudah lama terkadang saya berpikir tentang ketidakmasukakalan dari
mulutnya. Dia suka membual. Dia juga suka bersaksi jika Tuhan berbisik ke
telinganya. Dia juga suka berlakon tidak pada tempatnya, sampai saya yang malu
jadinya.
Pernah
suatu kali dia kehabisan akal, atau bisa jadi kehabisan uang. Dicarikannya lah
teman satu SMK dulu. Dia membagi tugas berdua. Si teman akan merancang sebuah
alat penghemat gas. Bahkan, Gut meminta agar alat itu bisa menghemat hingga 99
persen. Setelah jadi, bentuknya seperti tabung berdiameter 15 cm, tinggi
sejengkal, dan ada dua selang gas di dua sisi, satunya terhubung ke tabung gas,
dan satunya ke kompor. Lalu, Gut akan mengurus perizinan dan segala macam
formalitas produknya ke pejabat-pejabat, atau bisa juga ke aparat-aparat kota,
bahkan se-provinsi. Siapa lagi yang ada keraguan untuk menolak produk Gut
jikalau orang-orang besar sudah merasakan canggihnya alat buatan Gut. Walau,
sebenarnya dia adalah lulusan Ilmu Keguruan, pun tidak selesai. Gut adalah
manusia yang pandai berbicara.
Di
malam eksekusi, pada sabtu malam yang rutin, orang siap mendengarnya. Dia
memperkenalkan alat canggihnya. Bahwa, alat tersebut bisa menghemat pengeluaran
dapur. Teknologi di dalamnya sangat mutakhir, belum ada ilmuwan yang menemukan.
Tak henti-henti mereka bertepuk tangan saking hebatnya sang junjungan. Dalam kepala,
para umat senang membayangkan akan ada uang lebih membeli ikan bilih. Selama
ini mereka menderita karena harga tabung gas lebih mahal sepuluh ribu dibanding
di pusat kota. Gut sangat pintar bagi mereka. Tuhan sangat sayang berbisik
kepada Gut untuk menyampaikan solusi bagi pengikutnya.
Kebetulan
karena harga kawan, Gut memberi saya setengah harga saja. Diutusnya lah salah
seorang pengikutnya untuk mengantar sekaligus memasang alatnya di rumah makan
milik saya. Lelaki itu sudah dilatih fasih perihal baut-baut alat. Hari
pertama, setelah selesai dipasang, lelaki itu pun kembali ke kampungnya, juga
kampung sang junjungan. Kompor menyala dengan normal. Pada malamnya saya totalkan
ada sembilan tabung yang habis. Kurang satu dari hari biasanya. Besoknya,
lelaki utusan itu datang lagi, katanya perintah Gut untuk mengecek alatnya.
Saya hidangkan sepiring nasi dan kopi setengah. Kasihan dia sudah jauh-jauh
datang. Namun nasib sial, pengait selang pada alat itu lepas seketika
mengobarkan api yang tinggi, menjilat wajah si lelaki utusan. Lantas saya buang
jauh-jauh alat itu setelah mengantar si lelaki utusan berobat. Saya rasa itu
alat tidak resmi, tidak ada yang membahasnya, toh mau dihematkan sebagaimana pun, yang namanya satu tabung tetap
satu tabung. Perbedaan yang saya lihat
hanya api kompor yang sangat kecil dari biasanya. Tentu itu memperlambat kerja
rumah makan saya.
Oleh
sebab itu, saya sudah lama tidak pergi main ke kediaman Gut beserta
pengikutnya, sebab dia suka menyuruh orang dengan seenaknya, itu pun tak
dibayar, biar Tuhan yang membalas setiap kebaikan. Saya orang yang ngak tegaan.
Di lain kisah juga sebelumnya dia pernah tiba-tiba mengklaim menemukan obat
dari pandemi saat ini, padahal pemerintah pun sudah habis triliyunan untuk
membuat vaksin yang rumit. Akan tetapi, Gut menemukannya lebih dulu. Obat itu
serupa inhaler orang flu. Cara
pakainya dihirup saja, lalu sembuh. Entah otak saya yang terputus sinyalnya,
tapi itu sangat tidak masuk akal dalam huru-hara yang tidak selesai-selesai.
Terakhir,
yang semakin membuat saya menganga, Gut membuat sebuah buku yang isinya
bisikan-bisikan Tuhan kepadanya. Bahkan, ternyata ada seri keduanya, menyusul
satu bulan sesudah buku pertama. Buku yang dia tulis sendiri, dia beri judul
sendiri, dia terbitkan sendiri dengan logo komunitasnya, lalu dia jual sendiri
kepada pengikutnya. Memang bukunya cepat laku, akan tetapi mengapa tak sampai
akal saya membacanya. Entah kesastrawanan saya diragukan. Bukankah sifat Tuhan
tidak sama dengan makhluknya dalam dimensi apa pun?
“Datang
dan lihatlah sendiri. Kau yang belum belajar,” tulisnya. “Kami selalu diarahkan
oleh Tuhan. Kami tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana yang harus dilakukan
agar menghindari bala. Kalian tidak akan diberi tahu Tuhan. Sebentar lagi, aku
akan membawa pengikutku pindah ke suatu tempat kosong. Akan kubangunkan mereka
sebuah perumahan tiga tipe. Di dalamnya akan ada sekolah, pasar, toko, tukang
pangkas rambut, bahkan universitas sekali pun demi kelengkapan pengikutku, agar
kami tak perlu keluar lagi.”
Tapi,
bukankah yang saya dengar lagi dari si lelaki yang dahulu terbakar wajahnya
lokasi perumahan direvisi ke kota demi kota, hingga tiga kali revisi. Mungkin
Tuhan sedang galau hingga salah bisik. Tak sampai di sana, di lokasi terakhir
Gut pun berhalusinasi bahwa pasir-pasir yang akan dibangun perumahan di atasnya
itu mengandung emas. Belum ada yang tahu selain Gut, bahkan PT. Freeport sekaligus.
Para pengikutnya sangat percaya, apalagi akan diberi harapan bagi hasil. Sekali
lagi, saya geleng-geleng dengar imajinasi kawan saya ini.
Saya
pikir bual kawan saya itu sudah keterlaluan. Semakin tua penyakitnya
menjadi-jadi. Pengikutnya pun tak pernah ada penolakan, bahkan menganalisa
sedikit pun perkataan Gut. Tidak ada “andai-andai” di zaman se-modern ini. Saya
memutuskan akan ke sana, untung-untung bisa menghentikan sifat bualnya. Kasihan
para pengikutnya mudah percaya orang yang pernah bercerita melawan jutaan jin
dalam mimpinya, padahal dia demam tidak sadarkan diri selama satu minggu.
Dan,
saya sampai pada malam yang gelap. Saya turun di pasar kota. Bus yang saya
tumpangi meninggalkan saya seorang diri di trotoar. Tidak ada yang turun
bersama saya. Berjalan sedikit ke arah utara, berharap ada tukang ojek yang
bisa mengantar saya ke Gut, yang saya dapati malah barisan baju putih. Ada yang
menenteng beras, setandan pisang,
sayur, bawang-bawangan, dan air minum botol yang nantinya akan dibacakan doa.
“Kami
juga ke arah sana. Kamu boleh mengikuti kami atau jika penat naik lah becak di
sana.” Jawab salah seorang pria usia lanjut kepada saya. Dia menunjuk ke arah
deretan tukang becak di depan sebuah ruko.
Saya
mulai merasa Gut ada benarnya. Bahkan, dia sukses membawa satu kota untuk
mendengarkan pesan Tuhan yang akan disampaikannya rutin setiap sabtu malam. Becak
yang saya naiki tertempel ayat kursi di langit-langitnya. Disampingnya, ada
logo komunitas didikan Gut pula.
“Dasar!
ilmu apa yang dipakai orang ini.” Gumamku. Saya kembali mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang tidak akan bisa dibantah oleh Gut. Kuharap,
halusinasi dan “andai-andai”nya membeku, lalu mulai menghentikan omong
kosongnya.
Lain
takdir ternyata. Sebelas tiga lima, Gut. Dalam hempasan badai yang mengancam
atap-atap terpal agar segera terbang, tidak saya temukan kau mengopi di kedai
sebelah masjid. Sengaja saya salat isya,
tidak saya dapati kau di barisan depan hingga belakang. Tidak juga kau
berkomat-kamit di teras. Ataukah, kau sedang berbincang empat mata dengan Tuhan,
lantas berceramah singkat, layaknya malam itu, Gut. Setelah saya yakin bahwa
kau memang tidak sedang mengibarkan aroma kasturi khasmu di sini, pucat bibir
saya ketika ternyata rombongan baju putih tadi bukannya berbahagia. Namun,
mereka terisak-isak sembari meletakkan barang bawaan mereka di teras rumah kau,
lantas berdoa ke makam kau.
“Janggut
mati tergiling ban mobil. Sorban, tasbih, tongkat, lalu beberapa kitab
berpencaran di tengah jalan, dan juga digiling mobil-mobil berikutnya. Hanya
dua orang teman satu surga satu Tuhannya lah yang segera menepikan bangkai
Janggut ke tepi. Namun, Sang sahabat tidak menelpon dokter. Mereka meneteskan
airmata bahagia ke pipi Janggut. Janggut baru saja sembahyang di tepi jalan.”
***
Padang,
27062021
Tentang Penulis
A. Suwistyo.
Aktif menulis puisi, cerpen dan berseni.
Berkegiatan di Padang. Saat ini telah menulis 2 buku, diantaranya :
Lakon (2018) dan Sedasawarsa Lagi, Kita Menua (2019). Karya-karyanya juga dapat
ditemukan di berbagai antologi dan media massa : Haluan, Harian Rakyat Sumbar, Scientia.id, Media Cakra Bangsa, Radar
Malang, dan lain-lain.

Komentar
Posting Komentar