Si Tua Buta dengan Racun Rindunya
A. Suwistyo
Jika sore telah tiba, si Tua akan duduk di tepi jalan. Ia membawa kursi kecilnya sendiri. Lalu, jika semua persiapan dirasa sudah lengkap, si tua memulai ritual. Orang – orang membiarkannya. Ada yang menyebutnya gila dan ada yang menyebutnya mengemis.
Lelaki tua tersebut tak jelas tingkahnya. Tanpa maksud yang jelas, ia melambai-lambaikan tangannya ke depan. Duduk di atas sebuah batu. Matanya terpejam, namun terang pandangannya. Satu lagi, kopiah yang memerah serta tongkat di tangan kirinya setia selalu tertancap ke tanah.
Kuisyaratkan maksud demikian melalui mata terpejamnya. Iya, itu bukan mata nan buta. Mata itu adalah pengharapan, penantian, dan kesetiaan. Ada yang sedang dinantinya. Belum puas, kuisyaratkan lagi melalui lambaian-lambaian kecil jemarinya. Jari-jari itu tak henti-hentinya melambai ke depan bak meminta siapapun yang lewat untuk berhenti. Aku semakin heran.
Begini saja, setiap orang mempunyai cara tersendiri menghapus kesepian. Jika itu terjadi pada diriku, aku rela memutari setiap gang kota, berharap ada pengalaman baru untuk dipikirkan lagi. Sama juga, si Tua ini mencari angin dari tepi jalan. menghibur mata dengan warna-warni cat kendaraan. Namun, dia tak membuka matanya.
Tapi, itu bukan jawaban yang puas bagiku. Aku memberanikan diri untuk mendekati si tua. Dia sudah membuatku memikirkan beribu pertanyaan di benakku. Aku melihat si tua ini di tempat yang sama dan dengan tingkah yang sama setiap pulang kerja.
***
Suatu kala, di hari ke-13, Aku menemukannya di bawah hujan aroma jagung bakar dan bisingan ombak. Tidak ada janji di antara kami malam itu. Biasanya kami akan membuat janji sebelum bertemu untuk mencari celah antara waktu pulang kerja Salma dengan waktuku menghabiskan umur lewat memancing. Jika sudah sepakat, kami akan raun-raun sepanjang Pantai Purus Padang. Terkadang dengan motor, terkadang dengan sepedaku, terkadang juga jalan kaki. Perlahan setiap harinya aku mulai menanyakan pertanyaan yang kian dalam perihal Salma.
Salma. Matanya bersinar, bibirnya mungil, kulitnya gelap namun manis.
“ Malam.”
Aku memulai basa-basi, namun tak ada jawaban. Mungkin seleranya sedang tidak baik saat itu. Ia hanya diam terpaku di bawah tugu merpati. Matanya tak lepas dari laut.
“ Menunggu apa kau malam – malam seperti ini?”
“ Siapa yang kau tunggu?”
“ Atau, Siapa yang akan kau jemput?”
“ Apa yang kau perhatikan?”
Hening. Semua pertanyaan itu belum kunjung mendapat jawaban. Basa – basi yang sudah basiku tak mempan merayu. Kubakar sebatang rokok untuk mengisi kekosongan. Udara lumayan dingin menusuk. Sengaja kuembuskan asap ke arah Salma, agar ada sepatah kata yang diucapnya. Namun, perempuan itu lebih suka menghirup asapku ketimbang mengutuk.
Lebih baik aku menunggu saja. Aku amati seekor merpati yang sedari tadi bertengger di atas. Merpati yang tak bermata, tak berbulu, badannya kaku, dan paruhnya tajam. Merpati ini lebih mirip lipatan origami.
Tugu merpati perdamaian. Peresmiannya adalah bagian dari latihan maritim berbagai negara yang digagas TNI Angkatan Laut silam, yang lebih populer disebut Multilateral Naval Exercise Komodo 2016. Menjulang tinggi di tepian pantai. Namanya jiwa dagang yang sudah mendaging, dimana ada wisata di sana kita berjualan. Para warga mendirikan tenda-tenda jagung bakar, sewa mobil-mobilan, jasa tukang potret, dan apa saja yang mungkin bisa mendatangkan uang.
Tapi sayang perdamaian si merpati nampaknya tak direstui. Sejengkal demi sejengkal ombak menggigit beton-beton penyangga. Perlahan abrasi mendekati si merpati. Upaya karung pasir sudah dicoba, hasilnya nihil. Tampaknya laut marah.
“ Jelaskan apa yang kau rasakan!”
Hilang menungku.
“ Menurutku, Kurasa aku hanya mengikuti waktu.” Jawabku datar.
“ Jangan pakai menurutku. Aku ingin kau sebagai jantan, berkata-kata lah yang terus terang. Kau takut dengan responku? Masa bodo. Lebih baik kuanggap kau pengecut jikalau begitu.”
“ Sebagai seorang pria yang digelari “lampu merah” untuk mencari pasangan, aku yakin telah menemukan cinta yang lama kuhindari, getaran itu ada pada dirimu,”
Kuhisap rokok sekali lagi, sebelum melanjutkan kalimat yang hati-hati ini. Takut Salma kecewa dengan kalimatku.
“saat ini, aku tak peduli dan tak ingin tahu siapa kau, apa sukumu, bagaimana dirimu sebelum ini. Aku mencintaimu sangat dalam bak lelaki yang egois. Sejauh ini kita bersahabat. Walaupun kau anggap aku sekadar teman mencari angin, aku melakukannya dengan hati, malahan aku yang menunggu kapan kau mengajakku.”
Tentang perasaan telah tersampaikan padanya. Aku bicara soal ketidakpengecutan seorang pria. Salma senang atau tidak, itu urusan hasil. Salma tidak lagi menatapku; memalingkan pandangannya ke semula. Kami berkutat dengan urusan kepala masing-masing. Akan tetapi, aku tak mungkin dapat jawaban jika terus seperti ini. Dingin harus disambangi hangat. Jika begitu, bisa jadi hati Salma memerah lalu ada kabar baik nun indah untukku. Kubeli dua potong jagung bakar dan dua kelapa muda. Siapa tahu pembicaraan kami akan lebih manis. Aku suruh si penjual menyelesaikannya dengan cepat. Saat aku kembali balik badan, secepat itu pula Salma hilang dari bayangan kaki merpati.
***
Aku sedang menunggu malam dengan memancing. Di sini ikannya banyak. Aku menyukai batu yang di ujung ini karna aku bisa melihat selurus pandang garis pantai dari utara hingga selatan dari atas batu ini. Umpan telah kulempar dan aku hanya menunggu apuang-apuang tenggelam, lantas menarik pancingku.
Hampir saja umpanku dimakan ikan, Salma datang. Kami tidak berjanji akan bertemu sore ini. Kali ini ia mendatangiku bersama sekian tas ransel yang dibawanya.
“Pian, aku pamit pulang sebentar.”
Permintaannya sedikit aneh bagiku. Ia izin pamit saat matahari akan tenggelam.
“Kau pamit pulang? Tapi bus manakah yang akan mengantarmu pulang saat sore seperti ini. Apakah tidak bisa kau menunggu besok?”
Mungkin aku bisa mengajaknya menunggu esok. Hanya ada aku dan Salma yang menghabiskan malam. Bukannya aku memaksa, tapi sore ini terasa begitu kering dan jarum jam tak berdetak selambat biasanya. Aku sudah berharap akan ada banyak peristiwa indah. Kau melemparkan permintaan yang tak pernah kupinta. Bagaimana jika kau tarik lagi perkataanmu tadi, lalu kita habiskan sore ini berlari di atas pasir pantai? Lalu kita duduk di tumpukan batu granit yang menghadap ke samudra lepas.
“Tidak bisa, Pian. Aku tetap harus pulang sore ini.”
“Sebegitu pentingkah hingga kau harus pulang dengan perasaan tergesa-gesa?
“Ibu yang memintaku pulang. Ibu juga memintaku berhenti kerja lagi di sini. Ibu memintaku datang sebelum lusa. Permintaan ibu tak bisa kutolak.”
Bagai alu pencungkil diri. Sepandai apa pun aku merayu, sebesar apa pun hadiahku agar ia tak jadi pergi, hati Salma sudah keras. Alhasil aku menyerah dan membiarkan ia pulang. Tapi, dengan syarat aku yang mengantar Salma ke tepi jalan dan menemaninya hingga bus menjemput.
Sepanjang perjalanan kaki aku mencoba berprasangka baik. Mungkin ibunya rindu. Mungkin abangnya pulang dari rantau. Mungkin.... Hampir saja aku berpikir terlalu jauh. Setiap mataku tertuju pada Salma, setiap itu pula lah aku menanti jawaban, Kapankah kamu kembali? Akan tak seperti biasa jadinya, tak ada yang akan menciptakan sungging senyum bibir hitamku lagi. Perempuan yang satu ini pandai memainkan hati dan senyum.
Langit sangat pandai mengiringi perasaanku. Sukarela ia menghadirkan mendung serta hembusan-hembusan angin. Lalu gerimis tak diundang turun setetes demi setetes. Kami semakin dekat dengan titik perpisahan. Jalan besar yang didominasi kendaraan menuju utara sudah terlihat selemparan batu. Sepertinya aku tidak akan menyia-nyiakan menit-menit ini. Aku harus menanyakan hal-hal penting yang tak akan terjadi di lain waktu. Tapi, apa?
Aku menyia-nyiakan kesempatan itu. Tak terasa kami langkah kaki kami sudah berhenti. Salma melirik ke arah kanannya, mencari-cari bus “SINAMAR”. Aku pun melirik ke arah kanan, mancari-cari ujung rindu di keningnya. Akhirnya waktu berniat jahat, tak perlu lama bus rongsokan itu sudah nampak di ujung jalan.
Tanpa rasa meninggalkan sesuatu, Salma merapatkan sandangan tasnya, lalu merebut tas jinjing dari tanganku. Dilambaikannya tangan, bus itu perlahan melambat. Aku hirup dalam dalam aromanya harum-harum, Aku hapal rona bibirnya merah-merah, seperti orang kasmaran yang akan hilang harapan.
Salma sudah melangkah ke dalam bus, namun secepat itu aku menahan tangannya.
“Kapan kau pulang?” tanyaku terburu-buru.
Tuhan! Mata indah itu menatapku dalam.
“ Malam hari. Saat kau tertidur. Aku akan datang dan tidur di matamu.”
***
Begitulah kata si Tua menceritakan siapa itu Salma, apa rindu yang meracun di hatinya. Hatinya berprasangka perempuan itu akan kembali paling lama satu bulan. Perempuan itu hanya menemui rindu ibunya.
Tapi apa dikata ternyata pulangnya untuk menyambut seorang lelaki. Tersiur kabar dari orang sebelah kontrakan lama Salma bahwa dia memang tak perawan lagi. Perempuan itu sudah berlaki dan kehadirannya di Purus hanya sekadar mencari hidup baru lalu menunggu suaminya dari Kalimantan, pun dia belum dibuahi anak.
“ Tapi, mengapa dia begitu menawan dan lugu padaku? Salahkah aku terlalu percaya pada kebetulan itu?” Si Tua menceracau kalau dia tak salah.
Dan mengapa ia tidak akan membuka matanya selama ritual? Si Tua takut jika ia membuka matanya, kegelapan bak malam itu hilang, lalu ia melewatkan kedatangan Salma. Si Tua ini mencintai dengan keras kepala.
Hingga saat ini, Salma belum juga turun dari busnya. Aisudah!
---
Pantai Purus, Padang, 20 Februari 2021
Tentang Penulis
A. Suwistyo. Aktif menulis puisi, cerpen dan berseni. Berkegiatan di Padang. Saat ini telah menulis 2 buku, diantaranya : Lakon (2018) dan Sedasawarsa Lagi, Kita Menua (2019). Karya-karyanya juga dapat ditemukan di berbagai antologi dan media massa : Haluan, Harian Rakyat Sumbar, Scientia.id, Media Cakra Bangsa, Radar Malang, dan lain-lain.
Komentar
Posting Komentar